Empat puluh Empat Hari setelah kamu pergi

14 juni 2017 pukul 00. 17
Pagi ini pekanbaru diguyur hujan yang cukup deras. Mungkin alam membisikan bahwa ini tanda-tanda malam yg lebih baik dari seribu bulan. Ya sekarang masih bulan Ramadhan. Bagaimana Ramadhanmu? Bagaimana tarawihmu? Sudah juz berapa yg kau baca? Sudah berapa kali kau berbuka bersama dengannya, sementara aku disini berbuka seorang diri ditemani kesenyapan.
Pekanbaru hujan. Dan Sayang, kau tahu aku benci hujan. Hujan yg dulu begitu ku nikmati dan nanti kini berganti dengan hujan yang penuh dengan kebencian. Sekedar flash back mengapa aku sekarang amat membenci rahmat Tuhan satu ini.

Oktober 2016. Hari jumat. Entah tanggal berapa tepatnya aku lupa. Malam itu kau menemaniku dirumah. Kita makam malam bersama seperti biasanya. Kau pun tertidur entah karena kelelahan atau kekenyangan. Tak tega aku membangunkanmu, menyuruhmu pulang. Ya, diluar hujan sedang turun dengan derasnya. Manalah tega aku menyuruh berjalan pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Ku tunggu hingga kau terbangun, namun kau terlalu lelap sayang.
Terserah kalian yg membaca ini menganggap aku murahan atau jalang atau apalah namanya, ketika laki-laki yang bukan muhrimnya tertidur dirumah.  Hai, dont dare to much. Kami tidak berdua. Ada adikku dirumah.
Setegah satu pagi kau terbangun, kaget melihat rumahku sunyi dan gelap. Seketika kau tersadar begitu lama kau tertidur. Kau ketok pintu kamarku dengan sangat lembut, berusaha membangunkanku. Kau ingin pulang.
Maaf sayang, waktu itu aku tak mengizinkanmu. Bukan karena aku murahan dan ingin menggodamu. Aku pun masih tahu batasan dan punya harga diri. Aku hanya berusaha menjaga nama baik orang tuaku. Takut-takut kalau fitnah terjadi mendapati seorang lelaki pulang dari rumah anak gadis di tengah malam. " tak usah cemas, kita dirumah tidak dirumah. Ada adikku kan, lagian abang bisa tidur di lantai atas sedangkan aku di kamar orang tuaku di bawah" ucarku dengam suara serak khas orang baru bangun. Aku tahu kau marah. Kau berusaha menolaknya. Tapi ternyata kau memahami situasiku saat itu. Syukurlah.
Itulah pertama kalinya aku melihat kau pergi tidur dan pertama kali aku melihatmu bangun tidur keesokannya. Ah, kau begitu tampan kala itu.

Malam ini telingaku ditemanin Ed Shareen -Photograph- ya semua masih terekam jelas di memoriku. Malam ini aku kembali teringat padamu. Bukan, bukan maksudku untuk mengunngkit yg telah terjadi, dan jangan kau bilang aku mengungkit2 budi. Kauntak bergutang budi. Aku pun tak merasa. Aku hanya sekedar mengingatkan setidaknya kita punya kenangan di saat hujan. Hujan yang menahanmu di rumahku. Hujan yg membuat aku berdoa agar kau yg aku lihat di akhir malam dan di awal pagi. Hujan yg membjuat hatiku terasa nyaman. Karena aku percaya kau selaluelindungi dan mengingatku kala hujan turun.

Tapi semakin aku mengingatnya semakin bertambah sakitku padamu. Semakin aku coba melupakanmu semakin terasa sisa - sisa kenangan yg dulu pernah kita punya. Sekarang, aku benci kau. Aku benci hujan. Malam ini aku kembali tersakiti. Hatiku terluka lagi. Aku kembali menangis lagi. Mengingat semua rasa sesak dan sakit yg kau toreskan oleh segala dusta dan duamu. Kau yg membuatku benci hujan. Kau yg membuatku muak untuk kembali berdoa saat hujan. Kau bukan pelindungku kala hujan. Kau sama seperti kilat petir dan badai. Menyakitkan.

Sebulan Setelah Kita Putus

Hay.
Sebulan sudah kita resmi berpisah. Bagaimana kabarmu? Ah, masih saja aku bertanya tentang kabarmu. Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah kenapa? Jujur, padahal hari ini aku lelah sekali.

Mataku nyalang menatap langit-langit kamar yg baru saja selesai di cat ulang minggu lalu.  Tiba-tiba saja aku teringat akan salah satu status facebookmu kala itu,
Nur + Ilham = Nuril.
Ya kau ambil singkatan dari nama depan kita masing-masing. Katamu, insyaallah itu nama anak kita kelak. Kau juga ingin menambahkan nama belakang ayahmu menjadi nama belakang anak kita. Aduh Sayang, dulu semua itu begitu indah. Angan - anganmu, mimpi - mimpimu denganku begitu indah. Jujur, aku masih ingat itu semua. Lalu bagaimana denganmu, apa kau sudah melupakan itu semua. Atau kau sudah merencanakan mimpi-mimpi baru dengan perempuan baru pula. Mimpi yg dulu begitu berwarna untukku, kini hilang mengabu bersama kepergianmu.
Ya, aku tidak akan mengungkit segala macam kenangan dan mimpi yang dulu kau katakan untukku. Itu hak mutlak darimu, entah kau akan melupakan atau mengganti dengan yg baru.
Hanya saja, terkadang dalam meniti jalan aku masih teringat akan mimpi-mimpi yang kita jalin bersama di dalam satu garis himpunan cinta.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, sudah lelah badanku menapaki hari ini. Ingin aku tidur, tapi lagi2 kau datang dalam bentuk kenangan yang menyakitkan sekaligus mengindahkan. Wahai kau pendusta disana, ku harap kau tertidur lelap di pelukan wanitamu. Hingga kau bermimpi indah dan melupakan mimpi menyakitkan yg dulu kau ukir denganku.

Sebulan setelah kamu pergi, segalanya masih sama dan begitu hampa. Menyadari bahwa kamu tak ikut terluka, membuat aku terus bertanya-tanya. Jika dari awal segalanya tak didasari cinta, mengapa kau begitu berani untuk berkata cinta? Mengapa kau begitu berani mendatangi ayahku? Jika dari awal memang dalam hatimu tidak pernah ada perasaan sayang, mengapa kamu memanggilku dengan panggilan sayang? Jika selama ini aku hanyalah pemain pendukung dalam drama kehidupanmu, mengapa seakan kau libatkan aku begitu jauh dalam dramamu?
Kamu tahu, Sayang? Tidak ada yang lebih menyakitkan, daripada berjalan terlalu jauh, lalu kautinggalkanku di tengah jalan, sebelum kita berdua sampai di tujuan. Kau tinggalkanku begitu saja. Begitu saja. Seakan kita tidak pernah memulai segalanya. Seakan aku bukan siapa-siapa. Seakan aku hanya mainanmu saja.

Bloggerperempuan

Blogger Perempuan
 
Catatan Si Butet Blog Design by Ipietoon