Malaikat itu Telah Pergi

Sejenak kurebahkan letih yang menggantung di tubuhku setelah beraktivitas seharian. Kepalaku sedikit pusing, suhunya pun agak panas. Mungkin karena tadi aku nekad menerobos guyuran hujan yang cukup lebat. Untunglah pakaianku tidak sampai basah kuyup. Pasalnya, ini pakaian layak terakhir yang kupunya. Sisa pakaian yang ada di lemari hanya pakaian rumah yang tidak lazim dipakai ke kampus.

Pikiranku sejenak bersandar pada kejadian tadi siang. Saraf-saraf imajinasiku seakan berdenyut kencang bersamaan terbukanya jendela memori otak

Laksmi. Ya. Namanya Laksmi. Baru saja aku mengenal sosoknya yang tidak bisa diduga itu. Dia wanita misterius. Bayangkan, sejak dua tahun kuliah baru kali ini aku mengenalnya. Padahal, sudah beberapa kali kami berada dalam kelas yang sama.

Dan kejadian tadi sianglah yang membuatku ingin mengenalnya. Kejadian yang telah mengajarkan aku satu hal penting, yakni kebaikan itu tidak selalu harus diperlihatkan. Kebaikan yang baik adalah kebaikan yang hanya dirinya dan kebaikan itu sendiri yang tahu. Siang tadi Laksmi telah mengajarkan itu padaku. Aku baru memahami bahwa Laksmi punya sisi yang lebih dari orang lain. Ia menganggap hidup ini bukan semata-mata untuk kesenangannya. Tetapi ada yang lebih dari itu semua, yakni bermanfaat bagi sekelilingnya.

Sejujurnya aku tidak pernah menyangka sosok sepertinya bisa memiliki sisi lain yang luar biasa dalam hidup. Aku yang notabene aktivis kampus, sebelumnya hanya menganggap sosok-sosok seperti Laksmi tidak lebih dari sekedar sampah zaman. Sosok yang hanya mengisi hari-harinya dengan berdandan, makan-makan, jalan-jalan, dan senang-senang. Tidak lebih dari itu.

Air mataku membuncah. Aku malu mengingatnya. Aku malu sebagai seorang laki-laki, karena merasa kalah dari sosoknya. Kalah, untuk berlomba-lomba menjadi figur-figur belakang layar yang kehadirannya tidak pernah terjamak, tetapi kemanfaatannya dapat dirasakan orang lain.

***

“Ami, ada yang bisa aku bantu?” ujarku yang iba melihatnya keletihan mengangkat-angkat kardus berisi mie instan dan logistik kebutuhan hidup untuk sebulan.

“Asya, e.. itu Sya tolong bawakan kardus minyak goreng itu ya?” sambutnya lembut.

Tanpa komentar banyak. Aku bergegas melaksanakan tugas. Kuangkat satu persatu kardus berisi minyak goreng itu ke ruang dapur Panti Asuhan Cinta Saudara. Adik-adik kecil penghuni panti asuhan pun sesekali membantu membawa kardus-kardus itu semampu mereka. Aku maklum, jika satu kardus sampai digotong lima sampai enam anak. Pasalnya, usia mereka masih seumuran jagung. Berkisar antara tiga sampai sepuluh tahun.

“Kak Ami, terigunya disimpan ke dapur juga ya?” tanya seorang anak yang kuperkirakan berusia sekitar enam tahunan. Tubuhnya mungil, namun sudah berseragam SD. Itu yang membuat asumsiku mengatakan ia berusia enam tahun.

“Iya sayang!” jawab Laksmi singkat, namun ruh kasih sayangnya terasa begitu panjang.

Hampir satu jam lamanya aku, Laksmi, dan anak-anak Panti Asuhan Cinta Saudara mengangkut logistik kebutuhan dapur untuk bulan ini. Keringat yang mengucur didahi dan sekujur tubuh seakan tidak ada apa-apanya dibanding keceriaan yang mengendap dalam hatiku. Aku merasa senang, larut dalam kebahagiaan anak-anak yang ditinggal orangtua mereka itu. Sesekali suara Laksmi melantunkan nyanyian khas anak-anak membuatku makin sadar bahwa ia bukanlah manusia, melainkan malaikat. Malaikat bagi anak-anak itu.

“Aku… seorang kapiten… memiliki pedang panjang…” lantunan suara Laksmi menyemangati bocah-bocah itu. Aku memandangi semua itu penuh takjub. Sambil sesekali bibirku mengikuti lantunan nyanyian khas anak-anak berjiwa pejuang tersebut.

Tanpa terasa, malam menjemput. Rembulan sudah menguncupkan putik cahayanya di langit. Bintang-bintang pun sudah bergantungan menyemarakkan kegelapan malam. Aku dan Laksmi hendak pamit dari Panti Asuhan Cinta Saudara. Sebelum pamit, tidak lupa Laksmi menyambangi anak-anak itu satu persatu seraya mengecup kening mereka sebelum menembus alam mimpi.

“Ami, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku sebelum ia masuk ke sedan Corolla hitamnya.

“Apa?”

“Apa yang membuatmu begitu menyayangi mereka?” tanyaku pelan. Mendengar pertanyaanku, Laksmi spontan tersenyum lirih. Aku tidak bisa menebak bahasa senyum yang tersirat diwajahnya itu.

“Aku sangat mencintai dunia anak-anak! Cukuplah masa kecil hampa seperti yang kualami dulu hanya tercipta untukku. Tidak boleh ada anak-anak lain merasakan hal yang sama,” jelasnya. Aku tidak bisa menangkap maksud perkataannya tersebut.

“Maksudmu?” tanyaku penasaran.

“Sya, aku ini anak piatu. Ibuku telah meninggal sejak aku berusia tiga tahun. Aku benar-benar merasa kesepian menjalani kehidupan sebagai seorang bocah yang sedang tumbuh berkembang. Aku paham bagaimana kosongnya perasaanku saat itu. Kasih sayang ayah tentu tidak bisa disamakan dengan seorang ibu. Ibu lebih memiliki sisi kasih sayang lebih dibanding ayah. Dan aku, aku tidak mau perasaan yang sama pun dialami anak-anak itu. Cukuplah aku saja yang merasakan itu Sya,” terangnya panjang lebar. Tetes demi tetes air mata menggelayut dalam benakku. Laksmi telah membuatku membatu dalam pondasi penyesalan yang rasanya takkan berujung. Ia telah mengajari aku tentang sesuatu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

“Sya, terimakasih ya sudah mau membantuku mengasuh mereka. Tanpa bantuanmu aku tidak tahu akan seperti apa jadinya,” ucap Laksmi meneruskan. Aku hanya tersenyum kaku menjawab ucapannya itu. Ada seutas rasa getir yang menyelinap.

“Udah malam Mi, jadi sebaiknya kita pulang,” ujarku mewarnai suasana gamang.

“Ya. Hati-hati ya Sya,” ujar Laksmi sambil membuka pintu sedan Corolla-nya.

“Kamu juga!” sambutku mantap.

***

“Jadi, selama ini Kak Ami yang membiayai kalian?” tanyaku pada Yandi, si kecil yang baru berusia enam tahun.

“Iya, Kak! Kalo nggak ada Kak Ami mungkin kita udah kelaparan,” jawabnya.

“Dulu sih, ada Mama Nani yang ngurusin kami. Tapi semenjak Mama Nani menikah, dia tidak pernah ke sini lagi. Katanya… kata Unang sih Mama Nani dibawa suaminya pergi jauh. Untungnya, nggak berapa lama Kak Ami sama temen-temennya datang ke sini. Katanya sih itu acara dari kampus. Mereka bagi-bagi makanan ke kami Kak.”

“Oya?”

“Iya Kak! Tapi habis itu cuma Kak Ami yang mau ngurus kami. Temen-temennya yang lain nggak pernah ke sini lagi. Kata Kak Ami sih mereka sibuk kuliah.” Penjelasan Yandi membuatku semakin tahu sosok Laksmi yang misterius. Semakin hari aku semakin mengerti dengan dirinya. Aku pun baru sadar bahwa ia tidak seperti wanita-wanita lain sebayanya yang ada di kampusku. Dia memang berbeda. Misteriustik.

Obrolanku dengan Yandi akhirnya mesti kuakhiri dengan kehadiran Laksmi. Aku tidak mungkin membahas dirinya di depan orangnya sendiri.

“Met siang!” sapanya sewaktu keluar dari sedan hitam yang diparkir di depan halaman panti asuhan ini.

“Siang Kak!” seru Yandi semangat.

“Maaf ya aku baru bisa datang. Tadi ada kuliah tambahan,” ujar Laksmi. Aku tak menjawab. Kupikir senyumku cukup untuk menjawab pernyataannya itu.

“Yang lain mana Yan?” tanyanya pada bocah yang sedari tadi duduk disampingku.

“Sedang main di halaman belakang Kak! Katanya sih mau menanam pohon mangga,” sahut Yandi.

“Yuk, kita bantu mereka.” Ajakan Laksmi itu membuatku terlihat bodoh. Aku yang sedari tadi sudah di sini tapi tidak memiliki inisiatif untuk melakukan hal tersebut.

***

Kupandangi sosok itu. Hatiku gerimis. Rajutan perasaan yang membentuk simpul-simpul penyesalan menghampar dalam hatiku. Laksmi. Ia sedang duduk terdiam di bawah pohon mangga yang meneduhi halaman depan panti asuhan ini. Aku tidak ingin berkata banyak. Air mataku sudah cukup untuk membayar kata-kata yang seharusnya kuucap.

“Kak Ami, aku sudah bisa masak sayur sekarang,” suara Genta yang mendatangi Laksmi dengan tergopoh-gopoh.

“Wah, Genta memang hebat! Sayur apa Gen?”

“Sayur asam Kak!”

“Ajari Kakak dong cara masaknya,” pinta Laksmi.

“Memangnya Kakak bisa? Kan Kakak nggak bisa melihat,” jawab Genta polos. Jantungku seakan remuk mendengar ucapan bocah lima tahun itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pedihnya perasaan Laksmi mendengar kata-kata tersebut. Pasti melebihi sakitnya dihantam halilintar yang menyambar di tengah hujan lebat.

“Genta, kok ngomongnya begitu! Kamu tahu nggak matamu itu…” Belum sempat kulanjutkan kata-kata, Laksmi langsung memotong pembicaraanku.

“Ya udah, sekarang Genta lanjutkan masaknya ya? Nanti kalau udah matang, kasih tahu Kakak. Kakak mau nyobain sayur asam buatan Genta!”

Seketika itu Genta menuju ke arah dapur. Kini hanya aku dan Laksmi di halaman depan ini. Aku tidak mengerti tentang apa yang harus kukatakan padanya. Aku sudah kehilangan semua kata. Kamus ketatabahasaan yang ada dalam otakku seakan kosong melompong.

“Sya, aku mohon! Berjanjilah untuk tidak pernah mengatakan rahasia ini! Aku mohon!” ucpaan Laksmi mencairkan kebekuan.

“Tapi Mi,” selaku.

“Sya, aku mendonorkan mataku untuk Genta bukan untuk mengharap belas kasihan apalagi pujian. Bukan Sya. Aku melakukan itu agar ia dapat melanjutkan masa depannya yang masih panjang. Aku ingin dia bisa tersenyum mengisi masa kecilnya. Dan aku senang karena bisa bermanfaat baginya, sekalipun awalnya aku sempat pesimis apa mataku cocok dengan mata kecilnya itu. Hingga akhirnya keajaiban pun menjawab. Dan aku… aku tidak menyesali sedikitpun tindakanku ini.”

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Yang hadir dalam pikiranku saat ini hanya satu pertanyaan, kenapa bukan aku yang melakukan itu?

***

Aku pamit. Aku hendak pergi sebentar menuntaskan tugas Kuliah Kerja Nyata di Sulawesi. Sebenarnya ini teramat berat bagiku. Dengan kondisi Laksmi yang kini tidak seperti dulu, aku khawatir anak-anak Panti Asuhan Cinta Saudara akan kerepotan melakukan aktivitas hariannya. Semenjak Laksmi memutuskan mendonorkan kedua matanya untuk Genta, rasanya akulah orang yang paling diharapkan oleh anak-anak itu dari sisi tenaga. Laksmi sudah tidak memungkinkan untuk sekedar memasak, berbelanja kebutuhan bulanan, atau mengajak mereka berolah raga.

“Maafkan aku Mi, seandainya ibuku tidak memaksaku untuk segera mengambil KKN ini aku rela tidak pernah KKN selamanya,” ucapku sebelum pamit berangkat ke tempat KKN, malam nanti.

“Tidak apa-apa Sya. Jalankan amanah ibumu dengan baik. Aku yakin, beliau menyuruhmu begitu semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah itu,” tukasnya bijak.

“Aku… aku… aku janji Mi, aku akan kembali kesini. Aku akan menemani kalian lagi setelah KKN-ku ini selesai. Aku janji,” sambungku dengan nada terbata.

“Aku percaya Sya! Aku percaya padamu. Aku yakin kau akan merindukan anak-anak panti asuhan ini. Tapi, aku mohon kamu tidak usah terlalu mengkhawatirkan kami. Lakukanlah yang terbaik ditempat KKN-mu. Bantu masyarakat disana agar bisa keluar dari permasalahannya. Aku percaya kamu bisa Sya.” Ucapan Laksmi itu memberikan satu keyakinan utuh padaku. Karena itu aku akan melakukan ini dengan sebaik-baiknya. Aku berjanji.

Kudekap satu persatu wajah-wajah polos itu. Air mataku berderai. Ini untuk kesekian kali aku menangis. Menangis karena keadaan yang memaksaku untuk itu. Kubelai rambut halus bocah-bocah itu dengan belian kasih sayang. Sesekali di antara mereka menangis di pundakku. Aku basah dalam linangan air mata.

Aku bisa merasakan tangisan di benak Laksmi. Ia menangis. Namun, ia tidak mau menampakkannya pada kami. Ia terlalu tegar untuk hanya menampakkan segala keluhnya di hadapan orang lain.

Kulambaikan tangan pada mereka. Gerimis cairan bening kesedihan belum juga reda dari sudut mataku. Ada seberkas cahaya yang kugenggam dari pancaran kesedihan mereka. Aku harus kembali setelah ini. Aku tidak boleh meninggalkan anak-anak itu setelah ini. Dan aku pun tidak ingin meninggalkamu, Laksmi.

***

Kubawa dua tenteng plastik berisi oleh-oleh khas Sulawesi. Senyumku mengembang lebar. Aku sudah tidak sabar ingin menjumpai wajah-wajah polos itu. Wajah Genta, Ana, Fajar, Rama, Ratna, dan yang lainnya, tanpa terkecuali Laksmi. Sejujurnya aku merindukannya pula. Bahkan sangat merindukannya.

Aku yakin mereka sangat senang menyambut kedatanganku. Apalagi dengan oleh-oleh sebanyak ini. Aku sengaja membawa oleh-oleh sebanyak ini untuk mereka. Tiap anak telah kujatah satu oleh-oleh. Mau tidak mau aku harus membawa tiga puluh delapan oleh-oleh untuk mereka. Oh tidak, maksudku tiga puluh sembilan. Yang satu, khusus untuk Laksmi. Sebuah cincin emas. Aku bermaksud meminangnya. Aku tidak ingin membiarkannya berkubang dalam dunia gelap. Aku ingin membawa cahaya bagi kehidupannya.

Seperempat jam lamanya kukendarai sepeda motor yang kubeli dari hasil keringatku sebagai asisten dosen dan editor majalah remaja. Aku sudah tidak sabar untuk sampai ke Panti Asuhan Cinta Saudara.

Pegal juga tubuhku berada di atas sepeda motor hampir setengah jam lamanya. Sekarang aku sudah tiba di depan Panti Asuhan Cinta Saudara. Namun…

Pandanganku terasa asing dengan suasana ini. Panti asuhan ini sudah tidak berbentuk lagi. Atapnya sudah tidak ada. Temboknya pun gosong.

“Cari apa Mas?” tanya seorang ibu muda berambut lurus panjang membuyarkan keherananku.

“Pa… panti asuhan,” jawabku terbata.

“Oh Panti Asuhan ini sudah tidak ditempati lagi. Sudah hampir satu bulan semenjak kebakaran yang meludeskan hampir seluruh isinya,” jawab ibu itu lancar. Jawaban itu membuat bulu kudukku merinding. Pikiranku berkicau entah kemana. Aku seperti berada dialam lain yang tidak kumengerti. Semua gelap.

***

“Kak… Kak…! Kak Asya! Bangun Kak!”

Mataku perlahan terbuka. Samar-samar kulihat wajah-wajah polos itu menganga di hadapanku. Aku masih belum tahu sedang berada di mana sekarang.

“Kak! Ini aku Genta!”

“Genta,” ucapku tertatih.

“Iya Kak! Kakak sekarang di rumah baru kita.”

“Rumah baru…” Aku masih belum bisa sepenuhnya kembali ke alam sadarku. Ucapan ibu muda tadi membuatku terpukul begitu dalam. Seperti terpersosok ke dalam jurang yang tidak berujung.

“Iya Kak! Kita sudah punya rumah baru,” tegas Genta.

“Setelah kebakaran yang melanda rumah kita yang dulu, kami sekarang dipindah kesini Kak,” sambar Ari menjelaskan.

Sedikit demi sedikit aku bisa menemui titik kesadaranku. Aku merasa lebih tenang setelah mendengar ucapan Ari tersebut.

“Kok Kakak bisa di sini?” tanyaku penasaran masih dengan nada tertatih.

“Tadi sewaktu Kakak pingsan, Bu Tita bersama beberapa warga komplek ini membawa Kakak ke sini. Rumah ini nggak terlalu jauh kok Kak dari rumah kita yang lama,” terang Abas yang sedari tadi mengipas-ngipasiku.

“Ini rumah kita?” tanyaku kembali.

“Ayahnya Kak Ami yang membelikannya untuk kita Kak! Ternyata beliau juga sangat baik seperti Kak Ami,” sambut Rama menyambung.

Laksmi, sedari tadi aku belum melihat sosoknya sedikit pun. Di mana dia? Aku ingin segera bertemu dengannya. Menatap wajahnya yang meneduhkan hati.

“Kak Laksmi di mana?” tanyaku dengan sejuta penasaran yang menguntai dalam hati.

Semua tertunduk. Tidak ada satu pun di antara mereka yang membuka mulut. Aku tidak mengerti diam mereka. Apa aku salah berkata?

“Kak Laksmi di mana?” tanyaku kembali. Bukan jawaban yang kudapat, tapi senandung tangis yang justru bergema. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini. Kucoba membuang jauh semua perasaan buruk yang mencoba menerobos pikiran positifku.

“Kak Laksmi meninggal Kak!” ujar Fajar dengan isak tak terbendung.

***

Kamis, 13 Februari 2004.

Hari ini sejarah kesedihan itu bermula. Aku sedang memulai sejarah kesedihanku yang aku tidak pernah tahu kapan akan berakhir.

Dia. Laksmi. Wanita yang bagiku seperti malaikat itu telah meninggalkan kami untuk selamanya. Ia membawa medali kepahlawan dalam pembaringan terakhirnya. Ia meninggal hanya karena ingin menyelamatkan seorang anak yang tidak ada hubungan darah dengannya sedikitpun, dari kobaran api. Ia meninggal dengan membawa senyum kepuasan hidup. Ia telah membelanjakan hidupnya demi seutas keceriaan di wajah bocah-bocah polos itu.

Dan kini, aku sendiri. Membawa setangkai kata yang belum sempat kuucap padanya hingga hari ini. Laksmi, semoga di alam sana kau bisa merasakan degup jantungku yang membuncah dalam kesedihan ini. Semoga, kau pun bisa merasakan tiga kata yang ingin kuutarakan padamu sejak lama.

Selamat jalan Peri. Selamat jalan Malaikat Pelipur Lara. Semoga Tuhan membalas semua pengorbananmu dengan tempat terindahNya di surga.

0 comments:

Post a Comment

Bloggerperempuan

Blogger Perempuan
 
Catatan Si Butet Blog Design by Ipietoon